Selamat Datang di Blog Gerak Badan Pencak Margaluyu 151 Indonesia Cabang Metro Surabaya

Sabtu, 02 April 2011

WANITA MANDIRI DALAM ISLAM


WANITA MANDIRI DALAM ISLAM

Pada hakekatnya tidak ada makhluk di atas bumi ini yang mandiri. Semua saling ketergantungan (dalam ilmu aam atau dikenal dengan ekosistem). Begitupun dengan manusia. Diciptakannya laki-laki dan wanita untuk saling mengenal, Li ta’arafu (QS. 49:13) dan dengan namanya kamu saling meminta-minta satu sama lain (QS. 4:1). Dalam ayat lain disebutkan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan amal dari orang yang beramal saleh di antara kamu baik laki-laki atau perempuan, karena sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain (QS. 3:195).
Ayat-ayat di atas menunjukkan pada hakekatnya wanita juga tidak mungkin mandiri penuh. Wanita merupakan bagian dari rantai kehidupan yang sangat tergantung dengan lingkungannya, tujuan hidup manusia adalah agar terjadi kesinambungan alam yang serasi dan harmonis. Sementara wanita memegang posisi sangat penting. Ia menjadi pusat reproduksi manusia. Karena itu tidak ada gerakan/pemikiran manapun yang berhak memutuskan mata rantai ini. Kehidupan ini adalah milik Allah.
Jika ia seorang wanita lajang, ia amat bergantung kepada pencipta-Nya (konsep inilah yang membedakan dengan wanita mandiri dalam pengertian umum). Wanita ini masih di bawah tanggungjawab kedua orangtuanya (khususnya ayah) karena adalah tanggungjawab orang tuanya menikahkan/menjadi wali bagi anak perempuannya. Dalam Islam , wanita tidak dibenarkan “jalan sendirian” dalam memutuskan siapa teman hidupnya. Ia hendaknya mengajak musyawarah kedua orang tuanya. (Suatu akhlak mulia yang ditanamkan oleh Rasulullah SAW), walaupun pada akhirnya wanita berhak menolak laki-laki yang tidak disukainya.
Islam juga tidak membenarkan adanya sikap “memilih tidak menikah”. Karena nikah adalah sunnah Rasulullah apalagi jika ia sudah mampu secara materi dan mental. Di samping tidak memenuhi sunnah, ia juga telah melanggar kehendak alam.

Jika ia seorang istri, sudah sewajarnya istri adalah mitra suami dalam membangun kehidupan. Istri adalah pakaian suami begitu pun sebaliknya (QS.2:187). Tidak saling menindas dan menjajah satu sama lain. Jika laki-laki ini adalah muslim yang baik, ia akan memahami tugas-tugasnya dan tugas istrinya. Menurut Rasulullah perhiasan yang paling indah adalah istri yang baik.
Oleh karena itu tidak akan terjadi diskriminasi terhadap wanita di semua bidang kehidupan, seandainya semua berjalan sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Jika seorang istri memilih bekerja (dalam pengertian Islam) ia bukan seorang wanita mandiri, karena pada hakekatnya keputusan bekerja atau tidaknya adalah hasil musyawarah dengan suami. Masih dalam keputusan bekerja, ia (istri) tetap tidak meninggalkan fungsi utamanya sebagai ibu.
Bagaimana dengan perlakuan yang berbeda terhadap upah kaum wanita karena ia tidak menanggung beban nafkah keluarga? Itulah perbedaannya dengan Islam. Di hadapan Allah, laki-laki atau wanita diberi balasan yang sama sesuai dengan tingkat amalnya masing-masing (QS. 4:124). Begitupun seharusnya manusia memberi balasan upah kerja, tidak membedakan laki-laki atau wanita.
Problem ekonomi yang melatarbelakangi wanita bekerja ini juga karena “kemiskinan struktural”. Mereka miskin karena keadaan sistem yang membuat mereka demikian. Ibarat benang kusut jika diurai yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin.
Pelanggaran seksual terjadi karena adanya dua pihak yang laki-laki karena sifat agresifnya dan yang wanita memungkinkan adanya peluang ke arah itu. (Dari segi pakaian dan perlengkapan perhiasan, misalnya).
Jika karena alasan aktualisasi diri dan tuntutan zaman maka wanita harus bekerja (dalam Islam), wanita tetap harus memegang norma dan etika. Bahwa secara alami ini tetap menuntutnya untuk berperan sesuai dengan kodratnya. Jika ia berkarir, ia bersuami, ia juga mempunyai anak, dan ia juga bagian integral dari masyarakat. Peran ini menyatu dalam diri wanita. Tinggal bagaimana wanita menanamkan peranannya dan menjadikan pria bagian dari kehidupannya.
Penelitian yang dilakukan Collette Dowling diawal tulisan ini menunjukkan satu kebenaran alami, bahwa tidak mungkin wanita mandiri dalam pengertian yang sesungguhnya. Begitu banyak ketakutan-ketakutan akan keinginan-keinginan kemandirian seorang wanita. Jika ia sudah melanggar kehendak alam, maka problema wanita mandiri akan semakin krusial. Lalu mengapa tidak kembali kepada Islam?
Sumber : Al-Muslimun No. 307

Tidak ada komentar:

Posting Komentar